Jumat, 23 Januari 2015

Liburan singkat di Hills Joglo Villa



Desember lalu adalah tepat setahun pernikahanku dan Mojo. Sebenarnya Mojo bukan orang yang suka melakukan perayaan ini itu, tapi daripada liat istrinya mecucu terus dengan berbagai pertimbangan akhirnya kami merencanakan perjalanan liburan dalam rangka merayakannya. Rencana awalnya sih lumayan heboh, mau ke Lombok. Kebetulan Mama Mertua mau jadi sponsor hehehe.. Tapi apa daya Mojo sibuk luar biasa sampai awal Januari sehingga agenda liburan terpaksa berganti dengan nungguin suami tercinta lembur di masa-masa semua orang sedang menikmati libur akhir tahun.


Meong ini tetep menggemaskan saat mecucu. Sayangnya tidak berlaku saat aku melakukan hal yang sama. (Sumber)
Untuk mengganti agenda liburan kami yang batal tersebut, akhirnya Mojo menawarkan opsi pengganti yang lebih dekat: jalan-jalan di sekitaran Jawa Tengah. Untukku itu tidak masalah. Mau ke manapun perginya, asal berdua denganmu pasti menyenangkan *aaihhh.. mantaabbb..*. Akhirnya aku mulai mencari-cari ide tempat yang akan kami jadikan tujuan berlibur. Ada beberapa pilihan yang kuajukan: Karimunjawa, liat sunrise di Dieng, naik kereta uap di Ambarawa, atau ke Guci/Bumijawa (daerah Kabupaten Tegal). Mengingat kami hanya punya waktu semalam, maka Karimunjawa langsung dicoret. Cuaca juga ngga mendukung. Liat sunrise, harus bangun pagi dan Mojo keberatan harus bangun pagi di hari libur. Dieng dicoret juga. Mojo juga ngga mau kalau ke Guci/Bumijawa. Akhirnya kami memutuskan ke Ambarawa. Kebetulan Mojo juga belum pernah naik kereta uap bergerigi.

Karimunjawa, Karibianya Jawa Tengah. Sebaiknya ke sana pas musim kemarau (sumber)

Naik kereta uap, tuut tuut tuut.. Siapa hendak turut? (sumber)

Melihat matahari terbit dari desa tertinggi di Pulau Jawa (sumber)

Pemandangan hijau dan udara dingin yang hanya berjarak satu jam perjalanan dari panasnya Kota Tegal (sumber)

Aku mulai cari tahu objek wisata di Ambarawa dan sekitarnya, juga tempat makan dan penginapan. Saat survey ini aku baru tahu kalau kereta uap sudah tidak beroperasi dan digantikan dengan diesel yang operasionalnya lebih murah. Hmm.. ngga masalah sih.. Waktunya juga belum tentu bisa berjodoh sama jadwal keretanya. Akhirnya aku menemukan websitenya Tlogo Plantation Resort di daerah Tuntang. Tlogo ini merupakan perkebunan milik pemerintah yang ada penginapannya juga. Ku pikir menginap di sana dan paginya berjalan-jalan di perkebunan karet dan kopi pasti menyenangkan. Aku sampaikan usulku itu ke Mojo dan kami sepakat.

Melihat aktivitas perkebunan di Tlogo Plantation (sumber)

Keesokan harinya kami berangkat ke Tuntang lewat Ketep. Selain untuk menghindari padatnya lalu lintas, juga mencoba jalan yang tidak biasa kami lalui. Berbekal alamat dari website mereka dan Google Map, kami mencari lokasi Tlogo Plantation Resort ini. Jaraknya dari jalan besar lumayan jauh, tapi tidak sulit ditemukan karena ada baliho besar di jalan masuknya. Kami nekat ke sana tanpa booking terlebih dahulu padahal waktu itu musim liburan. Sesuai foto yang kami lihat di websitenya, suasana perkebunan yang rindang dan asri sangat menyenangkan sekali. Kami segera menuju reception dan menanyakan apakah masih tersedia yang kamar Cottage (setiap kamar yang berupa paviliun tersendiri). Ternyata masih ada, meski harganya per 1 Januari 2015 naik jadi 700ribu/malam padahal waktu nanya lewat telepon masih 450ribu/malam. Sebenernya agak gondok, nyesel ngga langsung book waktu nelfon nanya harga. Kan lumayan tuh selisihnya huhuhu... Tapi juga lega banget ngga kehabisan kamar. Ga kebayang kan, kalau udah jauh-jauh sampe sini dan kamarnya penuh? Sebelum melakukan pembayaran, Mojo mengatakan pada Mbak Receptionist mau liat kamarnya dulu. Kemudian kami diantar menuju lokasi paviliun-paviliun tersebut. Masing-masing paviliun terpisah lumayan jauh satu sama lain. Di sekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon yang menjulang tinggi. Rasanya adem dan tenang.. ehh.. tenang apaan.. tunggu dulu.. tiba-tiba aja ada suara orang nyanyi-nyanyi diiringi orjen tunggal dan cukup bising. Kata Mbak Receptionist, ada tamu rombongan dan mereka bikin acara di restaurantnya. Badalah.. lha kalo heboh gini ga jadi liburan tenang dong.. Mbaknya juga bilang kalau dia ngga bisa memastikan nanti malam tamu rombongan tersebut bikin acara yang gaduh lagi atau ngga. Tanpa berpikir panjang, Mojo langsung membatalkan niat untuk menginap di sana. Dalam hatiku kecewa ga jadi nginap di situ, tapi bete juga kalau suasananya bising seperti itu.

Bentuk Cottage di Tlogo Plantation Resort ( Sumber: http://www.tlogoplantationresort.co.id )
Jam sudah menunjukkan waktu makan siang dan akhirnya kami memutuskan untuk makan sambil cari-cari alternatif lain. Sambil makan, aku membuka ulang daftar penginapan yang ada. Ngga banyak pilihan di Ambarawa. Sedangkan kalau ke Salatiga terlalu jauh meski banyak pilihan menarik. Di daftar tersebut aku melihat Villa Kampung Bali yang kebetulan lokasinya tidak jauh dari tempat kami makan. Kami pun meluncur ke lokasi. Jalan menuju ke sana kecil (kalau papasan mobil kurasa ngepas) dan tanjakannya agak ekstrim. Setiba di sana, kami berdua langsung sepakat untuk mencari tempat lain. Selain tempat parkir yang tidak nyaman, juga tempatnya tidak sesuai dengan namanya. Villa Kampung Bali ini sepertinya semula adalah perumahan kecil yang terdiri atas rumah-rumah tipe 36. Rumah-rumah ini yang dijadikan kamar-kamar penginapan. Selain tidak nyaman, tamu-tamu lain cenderung gaduh juga.

Rumah-rumah itu yang difungsikan sebagai villa. Mobil tamu parkir di jalan tanjakan yang curam. (sumber)
Aku mulai bete karena capek dan kami belum menemukan tempat menginap. Aku mengajak Mojo untuk pulang aja dan bikin agenda liburan lain waktu. Mojo ngga setuju karena ada tanggal merah lagi masih lama. Kami pun mulai mencari pilihan lain di sekitar Ungaran. Pilihanku tertuju pada Hills Joglo Villa. Aku memang suka sekali dengan bangunan joglo dan berbagai perabotan antik. Mojo segera memintaku untuk meneleponnya. Setelah memastikan kamar joglo untuk dua orang masih tersedia, kami segera menuju ke sana. Menurut websitenya, Hills Joglo Villa ini adalah penginapan berbentuk rumah-rumah joglo yang berusia ratusan tahun *dari namanya juga ketauan kali*. Joglo-joglo ini ukurannya macem-macem, mulai yang untuk dua orang sampai 12 orang.
ruang duduk  joglo yang berukuran besar
 Setiba di sana, kami disambut hujan lebat. Kami langsung check in dan membawa sebagian barang bawaan ke kamar. Untuk mencapai kamar dari front office kami harus melalui jalan setapak yang di kanan kirinya terdapat sawah (semacam pematang tapi lebih lebar). Di sela-sela kabut dan hujan, mataku terus berbinar kagum melihat bangunan-bangunan joglo cantik yang dikelilingi padi menguning.

Kamar kami adalah satu-satunya yang bukan berupa joglo yang berdiri sendiri. Kamar kami terletak di sebuah joglo dua lantai yang juga difungsikan sebagai dapur dan ruang fitness. Meski ada ruang lain namun kami tidak merasa bising karena di sana hanya ada total 9 joglo dan kami adalah satu-satunya tamu di sana. Kamar kami terletak di lantai bawah menghadap ke rumpun-rumpun bambu dan ada bangku dan meja untuk bersantai di dekatnya. Pintu kamarnya berupa gebyok ukir dan kunci kamarnya masih pakai anak kunci kuningan sederhana.

kunci kamarnya kereen <3 font="">

kunci kamar bagian dalam pakai model slot antik
Setelah membuka pintu, ada lorong dan dua pintu lain di dalamnya. Pintu di sebelah kanan adalah ruang tidur dan pintu kiri adalah kamar mandi. Ruang tidurnya berisi perabotan-perabotan antik dan mewah. Ranjang jati ukir yang lengkap dengan kelambunya, meja marmer, almari-almari dan perabotan lain yang juga terbuat dari jati ukir. Selain almari untuk pakaian, juga terdapat sebuah almari yang penuh dengan buku. Ada buku novel, buku tentang fauna, buku-buku puisi dan sastra, dll. Buku-buku tersebut semua dalam bahasa asing. Tidak hanya perabotan antik, di ruangan tersebut juga terdapat TV, DVD player dan beberapa kepingan film, kulkas dan teko pemanas air. Oh iya ruangan itu sebenarnya juga dilengkapi penyejuk udara, tapi kami sama sekali tidak menyalakannya karena sudah cukup sejuk. Sisi tembok yang menghadap keluar berupa jendela-jendela besar yang dapat dibuka sehingga kami dapat menikmati kesegaran udara di sana. Rasa letih dan bete karena perjalanan tadi rasanya langsung hilang berganti dengan perasaan nyaman dan tenang.
bisa menikmati pemandangan rumpun bambu dari dalam kamar
ranjangnya terbuat dari kayu jati, begitupun lemari pakaiannya
 Menjelang petang, hujan mulai mereda. Rencananya, aku kami ingin makan ini dan itu sesuai dengan hasil googling sebelumnya. Tapi karena kami keenakan di sini, akhirnya kami memutuskan untuk makan di sini aja. Nama restaurantnya adalah Lily Pond Restaurant. Sesuai dengan namanya, di restaurant ini terdapat kolam teratai yang cantik. Lampu-lampu gantung antik bersinar temaram. Suara berbagai fauna di sekitarnya menambah romantis suasana petang itu. Hmm.. aku suka sekali..

menjelang petang yang romantis di Lily Pond Restaurant
Setelah makan, mbak petugas restaurant menanyakan kami ingin menu sarapan apa untuk besok. Kami bisa memilih menu nasi goreng, mi goreng, atau telur dadar. Mbaknya juga menanyakan kami ingin sarapan disiapkan pukul berapa. Karena tamunya cuma kami, malah jadi berasa layanan pribadi hehehe..

Keesokan paginya kami ngeteh dan ngopi cantik di bangku depan kamar. Menikmati teh dan kopi hangat di bawah rimbunnya rumpun bambu berbaur dengan aroma embun yang menyegarkan. Pagi itu begitu tenang. Tidak ada suara riuh kendaraan atau apapun. Hanya ada suara fauna di sekitar sawah. Oh iya, pagi itu kami sempat mencoba jaringan wifi yang disediakan namun ternyata jaringannya ngga bagus. Tempat ini memang untuk menjauh dari rutinitas dan salah satunya adalah internet :p . Sinyal internet di ponsel pun juga tidak terlalu bagus. Dengan jeleknya sinyal internet, kami berdua bisa dengan ikhlas meletakkan ponsel tanpa sebentar-sebentar ngecek ini itu. Baru kali ini aku merasa senang tidak ada sinyal internet hehehe..

Buka laptop dan ternyata sinyal wifi maupun modem kembang kempis
Sekitar pukul 8, telepon kamar kami berdering. Ternyata petugas restoran yang menelepon. Dia memberitahukan bahwa sarapan sudah siap. Kami berdua pun segera menuju Lily Pond Restaurant untuk kembali bersantap sambil menikmati cantiknya kolam teratai. Dari seberang kolam teratai, kami bisa melihat sebuah meja di tepi kolam sudah dipersiapkan untuk kami. Dua set sarapan berupa nasi goreng dan telur dadar yang dilengkapi dengan kentang goreng dan roti bakar beserta dua poci kecil teh dan kopi tertata rapi di meja. Jika pada petang hari kemarin suasana terasa romantis, maka pada pagi ini suasana kolam terasa seperti negeri dongeng. Agak terdengar lebay sih, tapi aku selalu merasa berada di negeri dongeng jika melihat kombinasi antara air, rerimbunan tanaman, dan ray of light (semburat cahaya berbentuk garis-garis yang biasanya terbentuk karena sinar matahari melewati celah). Rasanya betah banget sarapan di sini. Sayangnya aku tidak bisa mengambil gambar ray of light yang ada karena keterbatasan sarana :'( .

Ray of Light yang ngga terlalu nampak karena pake kamera ponsel seadanya
Sarapan cantik di tepi kolam teratai
 Usai sarapan, kami berjalan-jalan mengitari kompleks villa ini. Ternyata kompleksnya cukup luas. Pemiliknya rupanya adalah kolektor benda-benda seni dari segala penjuru nusantara. Mereka punya satu galeri seni untuk menyimpan koleksi gerabah dan lukisan. Kami memang tidak sempat masuk ke galerinya, hanya mengintip dari luar, namun dari keterangan mereka, galeri tersebut memiliki lebih dari 1000 koleksi. Wooww.. ngga main-main.. Dan koleksinya pun ngga cuma di dalem galeri, di area taman juga banyak terlihat koleksi ornamen-ornamen dari pahatan batu. Ketika berjalan di dekat aula, aku merasa tidak asing melihat patung batu di situ. Aku segera memanggil Mojo dan menunjukkan patung batu yang serupa dengan yang pernah kami lihat saat di Pulau Samosir, Sumatera Utara. Kami pun mendekati patung tersebut. Ternyata benar. Di bawahnya ada keterangan bahwa patung tersebut memang dari Samosir. Antara takjub dan rada gimana.. Takjub karena kagum melihat keindahan patung dan banyaknya koleksi di sana, namun juga rada gimana membayangkan arca warisan budaya itu bisa jadi milik perorangan yang jauh dari lokasi asalnya. 

Tak terasa waktu berjalan, matahari mulai tinggi. Kami pun bergegas berkemas karena teringat masih harus menempuh perjalanan panjang kembali ke Tegal. Pengalaman menginap di Hills Joglo Villa sangat menyenangkan. Aku bisa merasakan berbagai kemewahan tempo dulu dan suasana yang tenang. Buat yang suka suasana tenang dan pengalaman yang tidak biasa, coba deh nginap di sini. Semoga ulasan ini bermanfaat buat yang sedang berlibur di Jawa Tengah, khususnya di sekitar Semarang.

Topi Luffy yang wajib dibawa kalau liburan
Catatan : semua foto pribadi saya diambil dari ponsel Mas Bojo. Doakan saya segera punya ponsel baru supaya ngga melas numpang foto sana sini :'(

4 komentar:

  1. aku kok malah menghitung-hitung mana foto caplokan dari internet dan mana foto yang hasil jepretan sendiri ya :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. Duh.. yo gini ini nasibku kalau ga punya ponsel berkamera mas haha.. #merana

      hpku tu rusak jadi ga bisa foto-foto dan terpaksa comot sana sini. Bahkan fotokupun nyomot dari hp suamiku huhuhu... T-T

      Hapus
  2. dian... aku baca ceritamu ini ikut ngos-ngosan... rencana kesana-kesini nggak jadi, giliran disamperin ra kebeneran, cari lagi, telpon sana-sini akhirnya nyangkut di villa joglo hahaha...

    seru juga ceritanya, ayo sering2 posting ya! karaktermu bercerita udah natural kok :)

    anyway kalau boleh kasih masukan:
    1. perbanyak foto hasil karya sendiri, biar kece
    2. pemenggalan paragraf jangan terlalu panjang
    3. di comment, dikasih option name & URL dong

    demikian & kapan kita bolos sekolah rame2 lagi? hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi Anhar udah mampir sekaligus kasi wejangan hehe..
      1. huhuhu.. iya nih.. waktu itu ga bawa kamera dan hpku pas rusak. jadi ga bisa ambil foto2. cuma mengandalkan file yang ada di hpnya suamiku.

      2. siaap!

      3. iki ora dong maksude. ntar aku japri yak ;)

      Hapus